Isu stagnasi organisasi di kalangan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menjadi perhatian serius sejumlah Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dari berbagai daerah. Keadaan ini tidak hanya mengganggu dinamika internal, tetapi juga mempengaruhi arah ideologi yang diusung organisasi. Dengan kata lain, situasi ini menantang eksistensi dan relevansi GMNI di tengah benang kusut konflik yang berkepanjangan.
Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa GMNI tidak semata-mata merupakan organisasi mahasiswa, melainkan juga memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk memberikan suara bagi kepentingan rakyat. Pertanyaannya adalah: Sejauh mana organisasi ini dapat menjalankan perannya dengan efektif di tengah permasalahan internal yang ada?
Pentingnya Mendamaikan Internal Dalam GMNI
GMNI, yang berakar dari semangat Marhaenisme, seharusnya menjadi wadah yang sehat untuk kader-kader muda dalam berkontribusi terhadap masyarakat. Namun, sejak Kongres XXI di Ambon pada 2019, ketegangan antara dua kepengurusan DPP telah menciptakan kebuntuan yang berlarut-larut. Data menunjukkan bahwa sudah lebih dari lima tahun konflik ini berlangsung, mengorbankan tidak hanya waktu tetapi juga potensi kaderisasi yang seharusnya menjadi tujuan utama organisasi.
Di tingkat daerah, dampaknya sangat nyata. Para kader merasa kehilangan arah. Nilai-nilai ideologis yang seharusnya menjadi fondasi GMNI kini mulai pudar, digantikan oleh orientasi pragmatis yang tidak jelas. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa menimbulkan ketidakpuasan di kalangan kader, bahkan dapat mendorong mereka untuk mencari alternatif lain di luar GMNI. Ini tentu bukan yang diharapkan oleh pendiri organisasi ini.
Strategi untuk Mengatasi Stagnasi dan Memperkuat GMNI
Melihat situasi yang mengkhawatirkan ini, sejumlah DPC mengusulkan beberapa langkah strategis untuk meredakan konflik dan memulihkan keutuhan organisasi. Dua tuntutan utama yang diajukan adalah pembentukan Badan Penyelamat Organisasi (BPO) dan konsolidasi nasional. BPO diharapkan menjadi struktur transisi yang dapat merangkul semua elemen dalam GMNI. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, diharapkan bisa tercipta kembali semangat kolektif yang hilang akibat konflik internal.
Selain itu, konsolidasi nasional dapat menjadi ajang untuk mempertemukan semua DPC dan DPD se-Indonesia dalam Kongres Persatuan. Forum ini harus bersifat terbuka, demokratis, dan ideologis, menjaga agar seluruh keputusan tidak berpihak kepada salah satu faksi. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan bisa terjalin kerjasama yang lebih solid antar pengurus organisasi, sekaligus mengembalikan kepercayaan kader terhadap GMNI.
Akhir kata, para DPC juga menyerukan agar setiap kader tidak bergantung pada penyelesaian dari pucuk pimpinan yang ada, tetapi harus mengambil inisiatif sendiri. Kesadaran kolektif di tingkat cabang dan daerah sangat penting dalam proses pemulihan ini. Dengan membangun kembali GMNI dari akar rumput, para kader diharapkan dapat memainkan peran aktif dalam pergerakan sosial demi mewujudkan cita-cita sosialisme yang diinginkan. Penguatan di tingkat basis ini akan menjadi fondasi yang solid untuk menghadapi tantangan di masa mendatang.