Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 memberikan peluang baru untuk penggunaan Dana Desa agar dapat menalangi utang koperasi yang gagal bayar. Kebijakan ini bagian dari skema pembiayaan Koperasi Desa/Kelurahan, yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi lokal.
Aturan ini membolehkan koperasi yang terdaftar dalam skema tersebut untuk mengajukan pinjaman ke bank pemerintah dengan nilai maksimum Rp 3 miliar dan bunga 6% per tahun untuk tenor sampai enam tahun. Namun, jika koperasi gagal bayar, pemerintah bisa menggunakan Dana Desa atau dana lainnya untuk menutupi utang tersebut.
Kekhawatiran Terhadap Stabilitas Fiskal Desa
Banyak pihak mulai mengkhawatirkan implikasi dari kebijakan ini. Lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik, seperti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), memandang adanya risiko besar terhadap stabilitas fiskal desa. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa penggunaan Dana Desa, yang seharusnya difokuskan untuk pembangunan dan layanan dasar masyarakat, justru bisa tersedot untuk membayar utang koperasi.
Berdasarkan laporan analisis fiskal CELIOS, mereka memprediksi adanya tiga skenario simulasi pinjaman koperasi. Jika kita mengasumsikan 80.000 koperasi berdiri, pada skenario tertentu, beban cicilan tahunan bisa mencapai Rp 44,8 triliun hingga Rp 56 triliun. Ini berarti, proporsi cicilan tersebut bisa mencapai 63% hingga 78,8% dari total Dana Desa nasional yang hanya sekitar Rp 71 triliun per tahun, yang tentunya akan memperlambat pembangunan desa.
Risiko Moral Hazard dan Koperasi Fiktif
Selain masalah fiskal, skema ini juga membuka peluang terjadinya moral hazard. Dengan adanya jaminan dari pemerintah, koperasi mungkin akan mengabaikan prinsip kehati-hatian. Hal ini berpotensi memunculkan koperasi fiktif, penyalahgunaan dana, atau bahkan praktik korupsi di tingkat lokal. Pasal 11 PMK No. 49/2025 menyebutkan bahwa dana talangan akan diakui sebagai piutang pemerintah daerah kepada koperasi. Namun, mekanisme ini dinilai hanya berpindahkan risiko keuangan dari bank ke pemerintah desa tanpa solusi yang komprehensif terkait pembiayaan dan tata kelola koperasi.
Program Koperasi Merah Putih sendiri memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk menghidupkan ekonomi desa melalui dana koperasi. Namun, tanpa adanya pengawasan yang ketat dan mitigasi risiko yang memadai, program ini justru dapat menimbulkan defisit fiskal dalam jangka panjang. Menurut Bhima, alih-alih menjadi solusi pembiayaan, skema ini malah dapat menjadi beban baru yang akan menggerus anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.